Kamis, 13 Maret 2014
Kamis, 20 Februari 2014
MONUMEN SURYO
Monumen Suryo, sebuah lokasi wisata di Ngawi, Jawa Timur, menjadi salah satu tempat wisata terfavorit bagi masyarakat lokal. Meskipun hanya monumen saja, bangunan monumen ini penuh dengan sejarah yang tidak mungkin akan dilupakan dengan mudah khususnya oleh masyarakat Ngawi. Monumen Suryo ini dibangun sebagai tanda hormat masyarakat Ngawi pada khususnya dan masyarakat Jawa Timur pada umumnya pada seorang tokoh Gubernur pertama Jawa Timur, RM. Soerjo. RM. Soerjo meninggal akibat adanya insiden PKI pada tahun 1948. Gubernur Pertama Jawa Timur ini menjadi salah satu target penculikan oknum PKI dan dibunuh dengan sadis di tengah Hutan Ngawi Kedungalar.
Lokasi wisata yang tergolong sebagai wisata alam ini tidak hanya menyuguhkan cerita sejarah yang terintepretasikan melalui Monumen Suryo saja, melainkan ada daya tarik wisata lainnya yang tak boleh anda lewatkan. Sebut saja atmosfir alam yang masih asri dan asli. Lokasi wisata ini juga menyuguhkan keindahan panorama alam yang sangat indah. Siapa pun akan merasakan suasana tenang dan damai saat berada di tempat wisata ini.
Untuk tetap menjaga keasrian lingkungan sekitar monumen, pihak pengelola tempat wisata Monumen Suryo telah menghiasi monumen dengan 23 jenis tanaman langka seperti citradora, sawo kecik, sonokeling, cendana, dan masih banyak jenis tanaman langka lainnya. Ada juga koleksi burung yang disangkarkan seperti burung Podang, Perkutut, Bekisar, dan lain sebagainya. Demi kenyamanan pengunjung, di kawasan wisata ini telah disediakan berbagai fasilitas dasar seperti mushola, ruang informasi, taman bermain, dan sebuah pendopo. Para pengunjung tidak dipungut biaya masuk untuk menikmati segala fasilitas dan daya tarik wisata alam
TRINIL NGAWI
A. Selayang Pandang
Banyak ahli teori evolusi percaya bahwa peneliti pertama yang menemukan mata rantai yang hilang (missing link)
dari teori evolusi manusia adalah Eugene Dubois, seorang dokter
berkebangsaan Belanda. Ia berangkat dari negeri kincir angin untuk
membuktikan asumsi ini: bahwa mata rantai yang menghubungkan evolusi
dari primata menjadi manusia modern terdapat di kawasan tropis, sebab
diperkirakan “manusia pengantara†ini sudah tidak memiliki bulu
seperti nenek moyang sebelumnya
Dubois
berangkat menggunakan kapal SS Prinses Amalia menuju Sumatra, tepatnya
ke daerah Payakumbuh, Sumatra Barat. Di tempat ini ia melakukan
penggalian di pegunungan dan gua-gua kapur di sepanjang Payakumbuh.
Hasilnya ternyata mengecewakan. Fosil-fosil manusia yang ia temukan
terlalu muda, sehingga tidak sesuai dengan harapannya. Setelah menerima
informasi bahwa di Jawa ditemukan fosil manusia wajak (Homo
wajakensis), Dubois akhirnya memindahkan proyek penggaliannya ke tanah
Jawa, mengikuti alur sungai Bengawan Solo. Pada sebuah lekukan sungai,
di daerah yang disebut Trinil, Ngawi, Jawa Timur, ia menemukan berbagai
fosil hewan purba. Tak hanya itu, di tempat ini ia berhasil menemukan
gigi dan atap tengkorak yang menyerupai kera (Harry Widianto dalam
Setahun
kemudian, 15 meter dari tempat penemuan pertama, ia menemukan tulang
paha kiri yang seusia dengan fosil sebelumnya, tetapi mirip dengan
tulang paha manusia modern. Ini artinya, manusia purba tersebut telah
berjalan tegak. Oleh sebab itu, Dubois kemudian menamakan fosil
temuannya sebagai Pithecanthropus erectus, alias manusia kera berjalan
tegak. Banyak ahli percaya bahwa temuan Dubois ini adalah missing link
yang selama ini dicari untuk membuktikan kesahihan teori evolusi.
Sebab Pithecanthropus erectus seolah mewakili proses evolusi dari
primata menjadi manusia, ini misalnya terlihat dari volume otak 900 cc
yang berada antara kapasitas manusia dan kera, serta tulang paha yang
menunjukkan pemiliknya telah berjalan tegak (Harry Widianto dalam
Foto Eugene Dubois
Sejak
penemuan Pithecanthropus erectus itu, daerah Trinil kemudian mendunia.
Masyarakat dunia serta merta mengenal titik kecil di tengah Pulau Jawa
itu sebagai salah satu tempat penemuan penting dalam perkembangan
teori evolusi, ilmu antropologi, paleoantropologi, serta arkeologi.
Penelitian Dubois sendiri berlangsung antara 1891-1895. Tempat penemuan
fosil Pithecanthropus erectus telah ditandai dengan sebuah monumen
yang dibangun oleh Dubois pada tahun 1895.
Namun,
lokasi penelitian Dubois ini seolah hanya menjadi lahan penelitian.
Artinya fosil-fosil yang dikenal masyarakat internasional tidak lagi
berada di Trinil, melainkan di Belanda dan Jerman. Masyarakat setempat
yang menemukan fosil-fosil manusia maupun hewan purba juga cenderung
menjualnya kepada pihak swasta. Kondisi ini cukup memprihatinkan. Namun,
untunglah salah seorang warga bernama Wirodihardjo memiliki kepedulian
dengan mengoleksi fosil dan benda-benda purbakala yang ditemukan oleh
masyarakat setempat. Dengan telaten ia mengganti fosil-fosil yang
ditemukan warga dengan uang atau bahan-bahan kebutuhan pokok, sehingga
warga dengan rela menyerahkan temuannya. Sebab itulah, Wirodihardjo
kemudian lebih dikenal dengan sebutan Wiro Balung (balung = tulang). Nama ini disematkan oleh masyarakat setempat karena ia dikenal sebagai pengumpul tulang-tulang (fosil)
Dari
hari ke hari, koleksi “tulang-belulang†yang dikumpulkan
Wirodihardjo kian bertambah. Fosil-fosil tersebut umumnya ditemukan
warga atau oleh Wirodihardjo sendiri di tiga desa di kawasan Trinil,
yakni Desa Kawu, Desa Gemarang, dan Desa Ngancar. Melihat potensi besar
tersebut, pemerintah daerah akhirnya membangun sebuah museum untuk
menampung koleksi fosil-fosil yang dikumpulkan Wirodihardjo. Pada tahun
1980-1981, bangunan museum telah selesai dibangun. Namun, peresmiannya
baru dilakukan pada 20 November 1991 oleh Gubernur Jawa Timur,
Soelarso. Sayangnya, ketika museum tersebut diresmikan, Wirodihardjo
telah meninggal setahun sebelumnya, yakni pada 1 April 1990
Lokasi
museum ini mengambil tempat di bekas lahan ekskavasi yang dilakukan
oleh Dubois, tepatnya di dekat monumen yang dibangun oleh Dubois.
Selain untuk mengenalkan kehidupan manusia, flora dan fauna purba,
serta ekosistemnya, museum ini juga bertujuan untuk mengingatkan pada
dunia bahwa di titik kecil di pulau jawa inilah ditemukan fosil yang
dianggap menjawab misteri mengenai mata rantai yang hilang (missing link) dari proses evolusi manusia.
B. Keistimewaan
Anda
mungkin masih ingat pelajaran sejarah purbakala ketika duduk di bangku
sekolah dasar atau sekolah menengah, bahwa Indonesia merupakan salah
satu lokasi penemuan penting yang mengungkap misteri kehidupan manusia
purba. Adalah Eugene Dubois yang banyak dihafal oleh murid-murid
sebagai penemu manusia Jawa atau Pithecanthropus erectus. Dan Trinil,
di Kabupaten Ngawi, merupakan salah satu lokasi penemuan
Pithecanthropus erectus yang kerap kali ditanyakan dalam lembar-lembar
ujian sejarah purbakala. Dengan mengunjungi museum ini, Anda akan
diingatkan kembali pada pelajaran-pelajaran sejarah purbakala tersebut.
Tetapi bukan dengan menghafal di awang-awang, melainkan Anda akan
membuktikannya dengan melihat sendiri seperti apa bentuk-bentuk fosil
purba tersebut.
Museum
ini terletak di bantaran Sungai Bengawan Solo. Hal ini mengingatkan
para pelancong bahwa di sekitar bantaran sungai inilah dahulu manusia
purba tinggal dan membangun kebudayaannya. Museum Trinil memang menjadi
salah satu obyek wisata sejarah yang penting, baik bagi wisatawan
biasa maupun pelajar atau peneliti. Keberadaan museum ini telah
memberikan sarana bagi mereka yang ingin mengetahui kehidupan manusia
purba, ekosistemnya, serta flora dan fauna yang hidup pada jaman
tersebut. Kawasan Trinil merupakan salah satu kawasan yang menjadi
penemuan fosil-fosil dari masa pliosen, sekitar 1,5 juta tahun yang lalu, hingga zaman pleistosen berakhir, yaitu sekitar 10.000 tahun sebelum masehi
Patung gajah purba
Menginjakkan
kaki di halaman museum, wisatawan akan disambut oleh gapura museum
dengan latar belakang patung gajah purba. Patung gajah ini cukup besar
untuk ukuran gajah sekarang, dengan gading yang sangat panjang, dan
anatominya lebih mirip Mammoth tetapi tanpa bulu. Selain patung gajah,
di halaman museum juga terdapat monumen penemuan Pithecanthropus
erectus yang dibuat oleh Dubois. Pada monumen tersebut tertulis: “P.e.
175m (gambar anak panah), 1891/95″. Maksud dari tulisan tersebut
adalah, Pithecanthropus erectus (P.e.) ditemukan sekitar 175 meter dari
monumen itu, mengikuti arah tanda panah, pada ekskavasi yang dilakukan
dari tahun 1891 hingga 1895.
Monumen penemuan Pithecanthropus erectus
Setelah
cukup menikmati patung gajah dan monumen tersebut, wisatawan dapat
menimba informasi lebih jauh dengan melihat koleksi museum yang
berjumlah sekitar 1.200 fosil yang terdiri dari 130 jenis. Museum
Trinil memamerkan beberapa replika fosil manusia purba, di antaranya
replika Phitecantropus Erectus yang ditemukan di Karang Tengah (Ngawi),
Phitecantropus Erectus yang ditemukan di Trinil (Ngawi), serta
fosil-fosil yang berasal dari Afrika dan Jerman, yakni Australopithecus
Afrinacus dan Homo Neanderthalensis. Kendati hanya berupa replika,
namun fosil tersebut dibuat mendekati bentuk aslinya. Sementara
fosil-fosil yang asli disimpan di beberapa museum di Belanda dan
Jerman.
Diorama manusia purba dan replika tengkorak manusia purba
Selain
fosil manusia, museum ini juga memamerkan fosil tulang rahang bawah
macan (Felis Tigris), fosil gigi geraham atas gajah (Stegodon
Trigonocephalus), fosil tanduk kerbau (Bubalus Palaeokerabau), fosil
tanduk banteng (Bibos Palaeosondaicus), serta fosil gading gajah purba
(Stegodon Trigonocephalus). Fosil-fosil hewan ini umumnya lebih besar
dan panjang daripada ukuran hewan sekarang. Misalnya saja fosil gading
gajah purba yang panjangnya mencapai 3,15 meter, bandingkan dengan
gajah sekarang yang panjang gadingnya tak lebih dari 1,5 meter.
Gading gajah purba
C. Lokasi
Museum
Purbakala Trinil terletak di Dukuh Pilang, Desa Kawu, Kecamatan
Kedunggalar, Kabupaten Ngawi, Provinsi Jawa Timur, Indonesia.
D. Akses
Museum
Purbakala Trinil berada sekitar 5 kilometer arah utara dari jalan raya
Solo-Surabaya. Dari Kota Ngawi, museum ini terletak sekitar 13
kilometer arah barat daya. Untuk menuju museum ini, dari Kota Ngawi
wisatawan dapat menggunakan jasa bus umum arah Solo. Wisatawan turun di
gapura besar yang menjadi penanda menuju Museum Trinil. Dari gapura
tersebut, wisatawan dapat mencarter ojek untuk sampai ke museum dengan
menempuh jarak sekitar 5 kilometer. Apabila menggunakan kendaraan
pribadi dari Kota Ngawi, wisatawan sebaiknya bertanya arah yang tepat
menuju museum, sebab papan penunjuk menuju museum ini masih sangat
minim.
E. Harga Tiket
Harga
tiket untuk memasuki Museum Trinil adalah Rp.1000,00 untuk anak-anak
dan Rp2.000,00 untuk orang dewasa. Tiket ini dibayarkan di pos penjaga
yang terdapat di luar museum. Apabila menggunakan kendaraan pribadi,
Anda dikenai biaya parkir, yaitu Rp500,00 untuk motor dan Rp1.000,00
untuk mobil.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Museum
Purbakala Trinil telah dilengkapi berbagai fasilitas, seperti lahan
parkir yang cukup luas, pendopo atau ruang pertemuan, kantor layanan
informasi, tempat istirahat bagi tamu atau peneliti yang ingin tinggal
selama beberapa hari, mushola, serta toilet. Selain berbagai fasilitas
tersebut, wisatawan yang ingin beristirahat usai mengunjungi museum bisa
rehat sejenak dengan duduk-duduk di taman yang dilengkapi dengan
sarana bermain anak. Taman ini telertak di sebelah utara museum. Taman
bermain anak tersebut menyediakan berbagai sarana permainan anak,
seperti ayunan, papan seluncur, serta jungkat-jungkit. Selain dihiasi
oleh bunga-bunga, taman ini juga diperindah dengan patung-patung hewan
yang merupakan rekonstruksi dari bentuk-bentuk hewan purba.
Bagi
Anda yang ingin melihat langsung aliran Bengawan Solo dapat
duduk-duduk di kursi panjang yang menghadap sungai yang terkenal berkat
lagu keroncong ciptaan Gesang ini. Sungai ini memanjang persis di
sebelah museum dengan dilingkupi rerimbunan pohon yang menyejukkan
suasana. Apabila merasa lapar, para pelancong dapat memesan makanan
seperti tempe lodeh plus telur dadar dengan harga yang sangat
terjangkau di warung-warung makan di depan museum.
Langganan:
Postingan (Atom)